Wilayah Nusantara merupakan kajian yang menarik dari sisi geologi karena sangat aktif. Di bagian timur hingga selatan kepulauan ini terdapat busur pertemuan dua lempeng benua yang besar: Lempeng Eurasia dan Lempeng Indo-Australia. Di bagian ini, lempeng Eurasia bergerak menuju selatan dan menghunjam ke bawah Lempeng Indo-Australia yang bergerak ke utara. Akibat hal ini terbentuk barisan gunung api di sepanjang Pulau Sumatera, Jawa, hingga pulau-pulau Nusa Tenggara. Daerah ini juga rawan gempa bumi sebagai akibatnya.
Di bagian timur terdapat pertemuan dua lempeng benua besar lainnya, lempeng Eurasia dan
lempeng Pasifik. Pertemuan ini membentuk barisan gunung api di
Kepulauan Maluku bagian utara ke arah bagian utara
Pulau Sulawesi menuju
Filipina.
Nusantara di Zaman Es akhir pernah menjadi bagian dua daratan besar
Wilayah barat Nusantara moderen muncul kira-kira sekitar kala
Pleistosen terhubung dengan
Asia Daratan. Sebelumnya diperkirakan sebagian wilayahnya merupakan bagian dari dasar lautan. Daratan ini dinamakan
Paparan Sunda ("Sundaland") oleh kalangan geologi. Batas timur daratan lama ini paralel dengan apa yang sekarang dikenal sebagai
Garis Wallace.
Wilayah timur Nusantara, di sisi lain, secara geografis terhubung dengan
Benua Australia dan berumur lebih tua sebagai daratan. Daratan ini dikenal sebagai
Paparan Sahul dan merupakan bagian dari Lempeng Indo-Australia, yang pada gilirannya adalah bagian dari
Benua Gondwana.
Di akhir
Zaman Es terakhir (20.000-10.000 tahun yang lalu) suhu rata-rata bumi meningkat dan permukaan laut meningkat pesat. Sebagian besar Paparan Sunda tertutup lautan dan membentuk rangkaian perairan
Selat Malaka,
Laut Cina Selatan,
Selat Karimata, dan
Laut Jawa. Pada periode inilah terbentuk
Semenanjung Malaya, Pulau Sumatera, Pulau Jawa,
Pulau Kalimantan, dan pulau-pulau di sekitarnya. Di timur,
Pulau Irian dan
Kepulauan Aru terpisah dari daratan utama Benua Australia. Kenaikan muka laut ini memaksa masyarakat penghuni wilayah ini saling terpisah dan mendorong terbentuknya masyarakat penghuni Nusantara moderen.
[sunting] Tumbuhan, hewan dan hominid
Sejarah geologi Nusantara mempengaruhi flora dan fauna, termasuk makhluk mirip manusia yang pernah menghuni wilayah ini. Sebagian daratan Nusantara dulu merupakan dasar laut, seperti wilayah pantai selatan Jawa dan Nusa Tenggara. Aneka fosil hewan laut ditemukan di wilayah ini. Daerah ini dikenal sebagai daerah
karst yang terbentuk dari endapan kapur
terumbu karang purba.
Endapan batu bara di wilayah Sumatera dan Kalimantan memberi indikasi pernah adanya hutan dari masa
Paleozoikum.
Laut dangkal di antara Sumatera, Jawa (termasuk Bali), dan Kalimantan, serta
Laut Arafura dan
Selat Torres adalah perairan muda yang baru mulai terbentuk kala berakhirnya Zaman Es terakhir (hingga 10.000 tahun sebelum era moderen). Inilah yang menyebabkan mengapa ada banyak kemiripan jenis tumbuhan dan hewan di antara ketiga pulau besar tersebut.
Flora dan fauna di ketiga pulau tersebut memiliki kesamaan dengan daratan Asia (Indocina, Semenanjung Malaya, dan Filipina).
Harimau,
gajah,
tapir,
kerbau,
babi,
badak, dan berbagai
unggas yang hidup di Asia daratan banyak yang memiliki kerabat di ketiga pulau ini.
Makhluk mirip manusia (
hominin) yang menghuni Nusantara yang diketahui adalah
manusia Jawa. Fosil dari satu bagian
tengkorak Pithecanthropus erectus ditemukan pada tahun 1891 oleh
Eugene Dubois di
Trinil,
Kabupaten Ngawi. Sejak 1934,
G.H.R. von Koenigswald beserta timnya menemukan serangkaian fosil hominin di lembah sepanjang
Bengawan Solo, yaitu di
Sangiran dan
Ngandong serta di tepi
Sungai Brantas di dekat
Mojokerto. Para ahli paleontologi sekarang kebanyakan berpendapat bahwa semua fosil temuan dari Jawa adalah
Homo erectus dan merupakan bentuk yang primitif. Semula diduga berumur 1.000.000 sampai 500.000 tahun (
pengukuran karbon tidak memungkinkan), kini berdasarkan pengukuran
radiometri terhadap
mineral vulkanik pada lapisan penemuan diduga usianya lebih tua, yaitu 1,7-1,5 juta tahun.
[1][2]
Homo sapiens moderen pertama masuk ke Nusantara diduga sekitar 100.000 tahun lalu, melalui
India dan
Indocina. Fosil
Homo sapiens pertama di Jawa ditemukan oleh van Rietschoten (1889), anggota tim Dubois, di
Wajak, dekat
Campurdarat, Tulungagung, di tepian Sungai Brantas.
[3] Ia ditemukan bersamaan dengan tulang
tapir, hewan yang pada masa kini tidak hidup di Jawa. Fosil Wajak dianggap bersamaan ras dengan fosil
Gua Niah di
Sarawak dan
Gua Tabon di
Pulau Palawan. Fosil Niah diperkirakan berusia 40.000-25.000 tahun (periode
Pleistosen) dan menunjukkan ciri-ciri ras
Australomelanesoid.
[4] Mereka adalah pendukung budaya
kapak perimbas (
chopper) dan termasuk dalam kultur
paleolitikum (Zaman Batu Tua).
Pengumuman pada tahun 2003 tentang penemuan
Homo floresiensis yang dianggap sebagai spesies
Homo primitif oleh para penemunya memantik perdebatan baru mengenai kemungkinan adanya spesies mirip manusia yang hidup dalam periode yang bersamaan dengan
H. sapiens, karena hanya berusia 20.000-10.000 tahun sejak era moderen dan tidak ter
fosilisasi. Hal ini bertentangan dengan anggapan sebelumnya yang menyatakan bahwa hanya
H. sapiens yang bertahan di Nusantara pada masa itu. Perdebatan ini belum tuntas, karena penentangnya menganggap
H. floresiensis adalah
H. sapiens yang menderita penyakit sehingga berukuran katai.
[sunting] Migrasi manusia
Bukti-bukti
Homo sapiens pertama diketahui dari tengkorak dan sisa-sisa tulang hominin di Wajak, Gua Niah (Serawak), serta temuan-temuan baru di
Pegunungan Sewu sejak awal paruh kedua abad ke-20 hingga sekarang, membentang dari
Kabupaten Gunungkidul,
Yogyakarta, hingga kawasan
Teluk Pacitan,
Kabupaten Pacitan. Temuan di Wajak, yang pertama kali ditemukan sulit ditentukan penanggalannya, namun fosil di Gua Niah menunjukkan usia sekitar 40.000 tahun yang lalu. Usia fosil utuh di Gua Braholo (Gunungkidul, ditemukan tahun 2002) dan Song (Gua) Keplek dan Terus (Pacitan) berusia lebih muda (sekitar 10.000 tahun sebelum era moderen atau tahun 0 Masehi). Pendugaan ini berasal dari bentuk perkakas yang ditemukan menyertainya.
Walaupun berasal dari masa budaya yang berbeda, fosil-fosil itu menunjukkan ciri-ciri
Austromelanesoid, suatu subras dari ras
Negroid yang sekarang dikenal sebagai penduduk asli
Pulau Papua,
Melanesia, dan
Benua Australia. Teori mengenai asal-usul ras ini pertama kali dideskripsikan oleh
Fritz dan
Paul Sarasin, dua sarjana bersaudara (sepupu satu sama lain) asal
Swiss di akhir abad ke-19. Dalam kajiannya, mereka melihat kesamaan ciri antara orang
Vedda yang menghuni
Sri Lanka dengan beberapa penduduk asli berciri sama di
Asia Tenggara kepulauan dan Australia.
[sunting] Peninggalan masa prasejarah
Peninggalan masa prasejarah Nusantara diketahui dari berbagai temuan-temuan coretan/lukisan di dinding gua atau ceruk di tebing-tebing serta dari penggalian-penggalian pada situs-situs purbakala.
Beberapa lokasi penemuan sisa-sisa prasejarah Nusantara:
- Situs Gua Putri, Baturaja, Sumatera Selatan
- Lembah Sangiran, sekarang menjadi Taman Purbakala Sangiran
- Situs Purbakala Wajak, Tulungagung
- Liang Bua, Pulau Flores
- Gua Leang-leang, Sulawesi
- Situs Gua Perbukitan Sangkulirang, Kutai Timur
- Situs Pasemah di Lampung
- Situs Cipari, Kuningan, Jawa Barat
- Situs Goa Pawon, Bandung, Jawa Barat
- Situs Gunungpadang, Cianjur, Jawa Barat
- Situs Gilimanuk, Jembrana, Bali
- Situs Gua-gua Biak, Papua (40.000-30.000 SM)[5]
- Situs Lukisan tepi pantai di Raja Ampat, Papua Barat
- Situs Tutari, Kabupaten Jayapura, (periode Megalitikum)[6]
- Gua Babi di Gunung Batu Buli, desa Randu, Muara Uya, Tabalong
[sunting] Catatan kaki